
Soehargo Kartohargo yang akrab dipanggil Mbah Hargo lahir di Bantar Bolang, Pemalang pada tanggal 14 Juli 1905. Beliau putra bungsu dari tiga putra putri pasangan Mas Kartotenoyo dan R.A. Sinta. Dua saudara kandung dari Mbah Kartohargo adalah R. Soehardi dan R.A. Oemiati.
Sehubungan Embah Kartotenoyo menjabat sebagai Assisten Wedana di Bantarbolang, oleh pihak Belanda Embah Kartohargo mendapatkan prioritas pendidikan di Kweekschool Gunung Sari, Batavia pada tahun 1925 (Pendidikan guru 4 tahun). Kweekschool Gunung Sari, Batavia adalah sekolah swasta pertama bagi pendidikan guru menengah atas.
Di Kweekschool Gunung Sari, Batavia, Beliau aktif di organisasi Jong Java, yang kemudian berubah menjadi Indonesia Muda. Organisasi inilah yang nantinya terkenal dengan ikrar Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia. Beliau seangkatan dengan salah satu pujangga Indonesia, yaitu Armijn Pane, adik dari Sanusi Pane. Di sekolah ini pula Beliau mengenal seorang dara bernama Soetiah. Embah Kartohargo tinggal diinternat (asrama) putra sedangkan embah Soetiah tinggal di internat putri. Kedua asrama ini letaknya berseberangan dan dipisahkan dengan pagar kawat.
Setelah lulus dan menikah, mulailah mereka berdua mendirikan sekolah-sekolah bernafaskan nasionalisme sejenis H.I.S. Sebenarnya pada masa itu, seseorang dengan tingkat pendidikan seperti embah Kartohargo dan embah Soetiah, bila bekerja pada pemerintah Belanda mendapatkan penghasilan sebesar 90 Gulden sebulan seorang. Besar lho kalau yang bekerja dua orang. Tetapi dengan prinsip politik Noncooperation dengan Hindia Belanda, mereka memilih mengajar di sekolah-sekolah nasional seperti ARJUNO SCHOOL, sekolah milik Budi Utomo, sekolah Taman Siswa dan Muhammadiyah. Berpindah-pindah dari Pemalang, Weleri, Cilacap, Bantul dan terakhir di Brebes.
Di Brebes ini beliau mendirikan Taman Siswa, dimana embah putri ikut mengajar. Selain itu Embah Kartohargo menjabat sebagai pengurus dan pengajar di Yayasan HIS Muhammadiyah. Di beberapa sekolah partikelir (istilah pemerintah Hindia Belanda bagi sekolah liar) embah Kartohargo dan embah Soetiah tak mendapatkan gaji. Mereka hanya mendapatkan prosentase dari iuran murid. Penghasilan mereka sekitar 10 sampai dengan 15 Gulden per bulan; itupun dicicil per 10 hari. Embah Hargo selalu berpesan: ” Sekolah terbaik adalah sekolah kehidupan” (De beste leerschool is de leven-school). Dengan memiliki 10 (sepuluh) anak, dimana yang tertua berusia 14 tahun dan terkecil 2 tahun, kondisi hidup waktu itu tentu teramat sulit. Pendidikan putri sulung (Penulis) dari Mbah Kartohargo, berpindah-pindah mengikuti sekolah-sekolah dimana Mbah Kartohargo mengajar. Penulis selesai kelas 7 di Perguruan Rakyat Semarang dengan bantuan dana dari Buyut Sinta, janda Asisten Wedana Randudongkal (Pemalang) penulis bisa sekolah MULO di Tegal.
Pada masa pendudukan Jepang kehidupan makin sulit. Hal ini juga menimpa keluarga Kartohargo. Pada masa ini, mbah Kartohargo mendapatkan kedudukan sebagai KETUA RT. Tugas beliau adalah mendistribusikan bahan makanan dan pakaian pada warga. Tapi kedudukan ini tidak beliau manfaatkan bagi kepentingan pribadi. Saat itu keluarga Kartohargo akrab dengan hidup di bawah garis kemiskinan. Kesepuluh putra-putri Mbah Kartohargo walaupun dalam kesulitan hidup mereka dekat satu sama lain. Meskipun banyak pertengkaran tetapi ada kesatuan dan persatuan.
Maka untuk tetap menjaga keutuhan silahturahmi seluruh anggota keluarga Kartohargo, dibentuklah paguyuban kita ini bernama “Satu-Keluarga”. Masih berjalan tertatih-tatih secara finansial, tetapi jiwa kepedulian tidak pernah pudar, semoga..!!!
---- sesuai penuturan Ibu Siti Chasanah Lahenda ----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar